Saturday, 31 December 2011

10 kerusakkan dalam menyambut perayaan

Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha”.”[2]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).[3]

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”[4]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[5][6]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.

“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”[7]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”[8]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.[9] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[11]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[12] Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[13]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[14] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”[15] Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[16]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[17]Wallahu walliyut taufiq.

Friday, 23 December 2011

Jangan Marah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!”
[HR. al-Bukhâri]

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).

SYARAH HADITS

Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu ‘anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.

DEFINISI MARAH

Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.

Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]

Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.

Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali”. [al-Fath/48 : 6] [2]

Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.[3]

Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” [asy-Syûrâ/42 : 11]

Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.

Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissalam [4] dan marahnya Nabi Yunus Alaihissalam [5]. Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.

Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.

Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.

Pertama. Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang semisalnya.

Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai sebabnya.

Kedua. Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.

Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
”Dan setelah amarah Musa mereda… ” [al-A’râf/7 : 154]

Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.

Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :

“… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” [asy-Syûrâ/42 : 37]

Juga dengan firman-Nya Ta’ala:

“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” [Ali ‘Imrân/3 : 134]

Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.

Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.[6]

Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” [al-A’râf/7 : 200]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring” [7].

Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.

Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” [8].

Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan itu hilang darinya.

Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”. [9]

Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” [11].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga” [12].

Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Ta’ala berfirman:

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)… ” [at-Taubah/9 : 14-15]

Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau ketika berjihad di jalan Allah.

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.

Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”[14]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar” [15].

Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah Azza wa Jalla murka, maka beliau marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.” [16]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam melihat dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah Azza wa Jalla ada di depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika shalat.”[18]

Diantara do’a yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baca ialah:

أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى
“Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha” [19].

Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.

Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan bagi kalian.”[20]

Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.

Seorang ulama Salaf t berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]

Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.[22]

Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.”[23]

Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat.

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24]

BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?

Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.

FAWA`ID HADITS

1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.

______________________________

Wednesday, 9 November 2011

Tunggu Dapat Hidayah

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (Surah ar-Ra'd 13:11)

Di sini, kita mengerti bahawa perubahan itu akan wujud melalui usaha daripada diri kita sendiri. Jikalau kita tidak memulakan langkah untuk berubah, maka kita akan selamanya berada di takuk yang lama.

"Insya-Allah nanti bila sudah dapat hidayah saya akan pakai tudung."

Ini hanya contoh jawapan yang 'cliche' bila ditanya mengenai pemakaian tudung. Ada banyak lagi ayat-ayat yang sering diungkapkan kita demi untuk menepis segala soalan masyarakat mengenai diri kita atau sikap kita. Walhal hidayah tidak datang kepada kita, kita yang sepatutnya mencari hidayah Allah!

"Dah tua nanti aku berubah lah weh!"

Ini lagi satu contoh. Kalau hati sendiri telah set kan bahawa anda memang tidak mahu berubah, bagilah seribu tahun pun kehidupan.. anda rasa anda akan berubah? Tidak sama sekali!

Untuk berubah, individu tersebut perlukan keinginan, ketetapan dan keteguhan hati.

Kenapa kita lihat banyak manusia yang mahu berubah ke arah kebaikan kecundang di tengah jalan transformasi?

Ini berkemungkinan besar kerana mereka punyai keinginan untuk berubah tetapi hati mereka tidak cekal dan tidak tetap untuk berubah!

Namun, jika hendak seribu daya jika tidak mahu seribu dalih. Hati itu asbab dan punca. Jika ia kuat maka akan kuatlah kita, jika tidak, kalahlah kita.

Berubah itu kaitannya hati dan jika hati itu tidak kuat, punya nawaitu yang tidak tetap dan masih ada walau sekelumit keinginan untuk mengulangi sikap lampau kita, maka susahlah manusia itu untuk menetapkan diri pada perubahan.

Hati itu juga berkait dengan anggota. Anggota itulah yang bakal meneguhkan hati. Demikian, apabila bertemu keinginan yang lama, mata tidak boleh memandang, kaki tidak boleh mengekori dan tangan tidak boleh beragak-agak untuk menyentuh atau melakukan.

Sekali lagi saya ingin tegas kan kepada saudari dan saudara marilah kita hayati akan maksud di sebalik Firman Allah ini:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri."
Surah ar-Ra'd 13:11

Sekiranya jalan yang kita lalui itu sukar ketika kita ingin berubah, maka sebenarnya itu lebih baik daripada anda kembali bergelumang dengan selut dan lumpur di jalan lama. Ingat, ini hanya dunia. Berubahlah ke arah kebaikan untuk Akhirat yang kekal abadi. Kitalah penentu nasib kita di sana!

- Artikel iluvislam.com

Hak Harta Sepencarian

Tuntutan harta sepencarian adalah lebih berdasarkan kepada undang-undang adat Melayu. Oleh kerana prinsip harta sepencarian tidak berlawanan dengan kehendak Syariah Islam maka peruntukan harta sepencarian diterima sebagai sebahagaian daripda Undang-Undang Islam di Malaysia.

Dalam Al-Quran ada menyebut:

"Orang lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang mereka usahakan". (Surah An-Nisaa' : 32)

Dalam ayat ini dapat kita fahami bahawa hak wanita dalam harta benda itu bergantung dari apa yang diusahakan.

Menurut Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984, harta sepencarian ditakrifkan sebagai:
"Harta yang diperolehi bersama oleh suami isteri semasa perkahwinan berkuatkuasa mengikut syarat-syarat yang ditentukan oleh Hukum Syarak'.

Menurut Kadi Besar Pulau Pinang Hj. Harussani bin Hj. Zakaria (pada masa itu) ketika memutuskan kes Piah bt. Said lwn Che Lah bin Awang (1983, Jld. 2 J.H.) harta sepencarian ditakrifkan:

"Harta yang diperolehi bersama-sama suami isteri itu hidup bersama dan berusaha, sama ada keuda-dua pasangan itu sama-sama bekerja dalam bidang yang sama atau dalam bidang yang berlainan dan sama ada secara rasmi atau tidak rasmi sama ada dibahagikan tugas atau tidak".

Satu contoh kes di mana sepasang suami isteri memperolehi harta semasa berkahwin kemudian mereka bercerai. Persoalan yang timbul ialah bagaimana prinsip harta itu dibahagikan. Menurut Yang Arif Datok Wan Ismail bin Mohammad Salleh ketika memberi keputusan Lembaga Rayuan Wilayah Persekutuan kes Anita binti Abdullah lwn Zainuddin bin Hj. Ariffin (1982, 4, JH 73) menyatakan:

1. Jika ada keterangan yang cukup siapa yang mengusahakan harta itu maka hasil itu terpulang kepadanya;

2. Jika tidak ada keterangan yang cukup di atas usaha masing-masing, mereka dikehendaki bersumpah. Apabila bersumpah semuanya, maka harta itu dibahagikan sama banyak juga. Jika semuanya enggan bersumpah dibahagikan sama banyak juga. Jika salah seorang enggan bersumpah, maka harta itu terpulang semua kepada yang bersumpah. Jika salah seorang atau semuanya telah mati maka hukum bersumpah itu dipertanggungjawabkan ke atas waris si mati sekiranya waris itu menuntut.

3. Jika berlaku adat kebiasaaan bahawa salah seorang daripada suami isteri itu berusaha lebih dari yang lain, maka persetujuan pembahagian hendaklah mengikut adat kebiasaan itu. Jika persetujuan tidak didapati maka pembahagiannya adalah seperti (a) dan (b) di atas.

Menurut Ahmad Ibrahim ketika memberi keputusan Lembaga Rayuan Wilayah Persekutuan bagi kes Mansur lwn Kamariah (1988, Jld. VI, 2 J.J.) tentang harta sepencarian menyatakan:

"Apabila timbul pertikaian mengenai kadar pembahagian harta sepencarian, jika tidak terdapat persetujuan, keputusan diserahkan kepada hakim yang menggunakan budibicaranya". Ini bermakna hakim akan membuat keputusan sendiri berdasarkan budi bicaranya".

Persoalan yang timbul ialah bagaimana kedudukan seseorang isteri yang hanya bertugas sebagai suri rumahtangga sepenuh masa, adakah ia berpeluang menuntut harta sepencarian? Dalam kes Boto' binti Taha lwn Jaafar bin Muhammad (1984, 1 J.H.) telah diputuskan bahawa seorang isteri yang hanya bertugas menolong suami berhak mendapat harta sepencarian.

Fakta kesnya adalah seperti berikut:

Pihak menuntut (isteri) telah menuntut harta sepencarian dari bekas suaminya separuh dari harta yang diperolehi semasa dalam perkahwinan. Harta-harta itu termasuk tanah, rumah, perahu, jala ikan dan warung ikan (gerai tempat menjual ikan). Apabila ia (isteri) berkahwin dengan pihak yang kena tuntut (suami) pihak yang menuntut telah meninggalkan kerjayanya sebagai pembantu kedai di sebuah restoren dan bertugas sebagai suri rumah di samping membantu tugas-tugas suami.

Yang Arif Hakim Saleh Abas (ketika itu) ketika memutuskan kes itu menyatakan:

"Pihak menuntut (isteri) menemani pihak kena tuntut boleh dikira sebagai usahanya bersama atau sumbangannya memperolehi pendapatan yang mana telah menghasilkan harta itu. Memang betul bahawa pihak menuntut (isteri) tidak mengambil bahagian langsung dalam perniagaan ikan dengan pihak kena tuntut (suami) akan tetapi kesediaannya berdampingan dengan pihak kena tuntut adalah menghasilkan ketenangan fikiran yang membolehkannya berniaga dengan berkesan. Oleh tu adalah kenyataan perkahwinan mereka dan apa yang mereka berbuat semasa perkahwinan yang menjadikan harta itu sebagai harta sepencarian".

Menurut Kadi Besar Pulau Pinang, Yang Arif Hj. Harussani bin Hj. Zakaria (pada masa itu) ketika memutuskan kes Nor Bee lwn Ahmad Shanusi (1978, Jld. 1, 2 J.H.) mengenai harta sepencarian:

"Harta sepencarian diluluskan oleh Syarak atas dasar khidmat dan perkongsian hidup. Isteri mengurus dan mengawal rumahtangga ketika suami keluar mencari nafkah. Isteri menurut Syarak berhak mendapat orang gaji dalam menguruskan rumahtangga. Jika tiada orang gaji maka kerja memasak, membasuh dan mengurus rumah hendaklah dianggap sebagai sebahagian dari kerja yang mengurangkan tanggungan suami".

Ini bermakna seseorang suri rumahtangga berhak menuntut harta sepencarian dari suaminya.

Harta sepencarian adalah satu prinsip yang berasaskan adat temenggung dan diterima pakai di dalam undang-undang kekeluargaan Islam di negeri-negeri dalam Malaysia. Ia bermaksud harta yang diperolehi oleh suami atau isteri sepanjang tempoh perkahwinan yang perlu dibahagikan di antara mereka selepas berlaku perceraian.

Menurut konsep harta sepencarian mana-mana pasangan tetap berhak kepada harta sepencarian walaupun dia tidak berkerja. Ini bermaksa seseorang isteri yang menjadi surirumah tetap berhak mendapat sebahagian dari harta suaminya jika mereka bercerai dengan syarat harta tersebut diperolehi dalam tempoh perkahwinan.

Dalam kes Robert alias Kamarulzaman lwn Umi Kalsom (1966) 1 MLJ 163, sepasang suami isteri membeli sebuah rumah di Setapak dengan harga $50,000 dengan sumbangan dari suami sebanyak $40,000 dan baki $10,000 dibayar oleh isteri. Rumah itu didaftarkan di atas nama isteri. Apabila bercerai, Robert menuntut bahagiannya berasaskan nisbah sumbangan yang diberikan. Mahkamah membuat keputusan berasaskan prinsip harta sepencarian dengan mengarahkan harga rumah tersebut dibahagi dua di antara plaintiff dan defendan.

Dalam kes Tengku Anun Zaharah lwn Dato' Dr. Hussein, Jernal Hukum Jilid III Bah. 1, Sept. 1983, 125, defendan (bekas suami) adalah seorang hartawan yang memiliki antara lain 6 bidang tanah, 6 lot rumah kedai di Wisma Central, beberapa buah rumah dan kenderaan. Plaintiff menuntut sebuah rumah, sebuah kereta dan beberapa harta lain di bawah harta sepencarian. Defendan mendakwa bahawa plaintiff tidak memberikan apa-apa sumbangan dalam usaha mendapatkan harta benda tersebut kerana plaintiff adalah seorang suri rumah.

Mahkamah memutuskan bahawa walaupun plaintiff tidak menyumbang secara langsung dalam pemerolehan harta, namun plaintiff tetap berperanan penting sebagai isteri yang memberikan ketenangan jiwa, kedamaian dan sokongan moral kepada suami sehingga membolehkan defendan memperolehi harta tersebut. Harta sepencarian tidak dilihat dari sudut usaha memperolehi secara sempit sebaliknya melihat kepada peranan kedua-dua suami dan isteri yang berkongsi hidup selama mereka dalam ikatan perkahwinan. Oleh yang demikian, Mahkamah membenarkan tuntutan harta sepencarian plaintiff termasuk 3 ekar tanah yang didaftarkan di atas nama defendan.

- Artikel iluvislam.com

Umat Islam : Kualiti dan Kuantiti

Perang Badar menjadi bukti bahawa bilangan yang sedikit tidak menghalang Muslimin daripada menang menghadapi musuh yang banyak bilangannya, dengan syarat terpasaknya dalam jiwa Taqwa dan Sabar.

Perang Hunain pula menjadi bukti bahawa bilangan yang ramai tidak dapat menolong Muslimin dalam mengatasi musuh, andai tiada keutuhan Taqwa dan Sabar.



Ayat al-Quran diturunkan mengenai perang Badar dan perang Hunain agar dijadikan sebagai pengajaran buat umat Islam. Sudahkah kita mengambil teladan dan sempadan?



Bilangan Muslimin yang sedikit dalam perang Badar tidak menjadi penghalang kemenangan, lantaran ketulenan Islam dan Iman, serta pegangan yang kukuh kepada Allah dan RasulNya.



Sebaliknya semasa perang Hunain, bilangan Muslimin amat ramai. Tetapi angka yang besar tersebut tidak menjamin kemenangan. Meskipun ramai, tetapi bagaimana dengan kekuatan iman di dalam jiwa?



Perang Hunain

Rasulullah s.a.w keluar menuju ke Lembah Hunain bersama angkatan berjumlah 12 000 orang - 10 000 dari Madinah dan 2 000 dari Mekah.


Melihatkan jumlah tentera yang besar, beberapa orang di kalangan tentera Muslimin berkata: "Kita pasti tidak akan kalah."



Sebahagian daripada tentera Muslimin di perang Hunain itu terdiri daripada mereka yang hanya menggabungkan tubuh badan ke dalam pasukan Muslimin, tetapi hati dan jiwa masih dikuasai oleh dunia, masih terdapat sifat-sifat yang menjadi penghalang kepada turunnya pertolongan Allah s.w.t.



Oleh sebab itu, ramai dikalangan tentera Muslimin mundur ke belakang semasa berlakunya kacau-bilau dan porak-peranda akibat diserang hendap di Lembah Hunain.



Tetapi para mukminin sadiqin dari kalangan Ansar dan Muhajirin, kembali menghadapi musuh sebaik sahaja mendengar laungan dan panggilan Rasulullah s.a.w. Mereka terus mengelilingi Baginda s.a.w dan terus teguh mengharungi pertarungan sengit. Dan bilangan sadiqin itu tidak lebih dari 200 orang.



Dengan 200 orang sadiqin itu, kemenangan berbalik semula kepada Muslimin setelah hampir dimiliki pihak musuh. Sakinah (ketenangan) telah diturunkan dan ditempatkan semula ke dalam hati Muslimin. Pihak musuh musyrikin telah ditewaskan oleh tentera Allah, padahal mereka dalam angka bilangan berjumlah 12 000.

Firman Allah Ta'ala:



Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (wahai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu di waktu kamu menjadi sombong kerana banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.



Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentera yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir.
(At-Taubah: 25-26)



Perang Badar

Benarnya niat, gigihnya ikhtiar dan usaha - syariatullah juga sunnatullah, dan penggantungan harapan hanya kepada Allah Ta'ala, menjadi asbab hadirnya bantuan yang dinanti daripada Allah Maha Perkasa.



(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut."



Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai khabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram kerananya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Al-Anfal: 9-10)



Realiti Kini

Kuantiti itu penting, tetapi kualiti lebih penting. Umat Islam tidak sedikit. Ramai. Tetapi Muslim yang berjiwa Muslim Mukmin masih kurang. Muslim yang menghayati Islam sebagai the way of life masih kurang. Pelbagai 'penyakit' masih melanda umat Islam. Buktinya, apa yang kita lihat pada hari ini.



Pelanggaran larangan Allah, maksiat kepadaNya. Pengabaian solat, zakat dan puasa. Pakaian tidak menutup aurat dan tidak menepati syara'. Ikhtilat tidak syar'ie, khalwat, zina, rogol, rempit, curi, arak, judi, rokok, dadah, bunuh, homoseksual, murtad, pecah amanah, rasuah dan Al-Quran tidak diambil sebagai perlembagaan.



Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (telah melaksanakan perintah Allah untuk memberi peringatan) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.



Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasiq.(Al-A'raaf: 164-165)



Perubahan perlu dilakukan. Umat Islam perlu sedar dan bangkit. Umat Islam perlu membina kekuatan spiritual, kepakaran dan ekonomi, mencontohi kegemilangan Islam di waktu silam. Dan peranan pembinaan kekuatan umat kini terletak pada bahu semua muslim.

Perintah Allah Ta'ala kepada kita:



Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka (musuh Allah) dengan kekuatan yang kamu miliki. (Al-Anfal:60)

-Artikel iluvislam.com

Pengorbanan dalam Mentaati Allah

SELEPAS dua bulan kita meraikan Aidilfitri, hari kemenangan ke atas tuntutan nafsu, tidak lama lagi kita menyambut hari kegembiraan dan pengorbanan mengingati Allah, iaitu Aidiladha. Pengajaran terpenting Aidiladha ialah memperingatkan diri kita mengenai pengorbanan, seorang ayah dan anaknya dalam melaksanakan perintah Allah.

Lihatlah nilai yang tersemai dalam jiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Pertama, kedua-duanya dengan keteguhan iman dan takwa berkeyakinan penuh akan ketetapan Allah dan tidak berganjak sedikitpun dalam menjalankan perintah-Nya.

Kedua, nilai kesabaran. Nabi Ibrahim dan Ismail amat sabar dalam mengharungi cabaran dihadapi serta tabah dalam menunaikan tanggungjawab. Sanggup berkorban inilah nilai dikehendaki setiap Muslim dalam membangunkan diri untuk menuju ke arah masyarakat cemerlang. Nilai ini amat penting dan perlu disemai dalam diri kita, keluarga serta masyarakat.

Marilah kita lihat akan kepentingan nilai pengorbanan ini supaya kita sama-sama menghayatinya dalam kehidupan seharian. Nilai iman dan keyakinan penuh akan ketetapan Allah bermaksud reda akan ketetapan dan takdir Allah.

Kita sebagai seorang yang beriman perlu percaya akan semua ketetapan ditetapkan Allah. Seorang hamba mestilah sentiasa menerima akan bahagian rezeki yang Allah kurniakan. Inilah sebenarnya kekuatan yang ada pada seorang yang beriman di mana dengan kekuatan iman pada Allah dan prinsip yang teguh dalam dirinya, dia akan menjadi seorang yang mampu untuk berkorban atas dasar mendapat keredaan Allah.

Seorang bapa dengan penuh keimanan akan berkorban sedaya upaya berusaha dalam mencari nafkah bagi keluarganya dan membangunkan mereka dengan kepercayaan dan keyakinan bahawa apa saja usaha dilakukan adalah untuk mendapat keredaan Allah dan dengan usahanya keluarga yang dibangunkan menjadi sebuah keluarga Islam yang boleh menjadi tunjang kekuatan masyarakat.

Begitu juga seorang ibu pastinya dengan keimanan yang teguh akan mendidik anak-anaknya dengan prinsip agama dan sentiasa berdoa kepada Allah agar menjadikan anak-anak itu orang berguna untuk agama, masyarakat dan negara.

Inilah pengorbanan yang sering kita lakukan. Pengorbanan ini akan lebih bermakna apabila tersemat di dalam hati bahawa setiap pengorbanan yang dilakukan hanya untuk mendapatkan keredaan Allah.

Oleh Prof Madya Dr Engku Ahmad Zali Engku Alwi

Mengapa Dia Sering Datang Kepadaku?

Apakah yang kita rasa jika rumah kita dijenguk oleh seseorang yang tidak dikenali setiap dua puluh minit sekali? Risau? Gelisah?

Bagaimana pula jika orang menjual barangan atau meminta sedekah datang ke rumah, mengetuk pintu rumah dan cuba mendapat perhatian kita setiap dua puluh minit? Rimas?

Bagaimana pula jika bos kita datang ke tempat kita, 'cubicle office', setiap dua puluh minit?

Kita tentu mengesyaki dia perlukan apa-apa atau hendak memastikan kita menjalankan tugasan.

Bagaimana jika anak kita datang menjenguk kita di bilik atau di ruang tamu setiap dua puluh minit sekali?

Tentu kita menyangka dia perlu bercakap dengan kita atau sesuatu tidak kena.

Tanggapan kita seharusnya bertepatan berdasarkan kerja atau kebiasan tugas mereka yang menjenguk itu. Jika anak, kita rasakan dia perlu bantuan kerana itu kebiasaan dia perlukan bantuan kita.

Begitu juga dengan bos, dia selalu memberi kita tugasan maka jika dia kerap menjenguk maka kita terfikir dia mahu berikan kita tugasan. Jika orang asing, tentu kita menyangka dia memerhati untuk melakukan jenayah.

Bagaimana jika tugas suatu makhluk itu menjenguk kita dua puluh minit sekali dan tugasnya adalah mengambil nyawa kita?

Sebuah hadis Nabi S.A.W yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas r.a, bahawa Rasulullah S.A.W bersabda yang maksudnya :

" Bahawa malaikat maut memerhati wajah manusia di muka bumi ini tujuh puluh kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenung wajah seseorang, didapati orang itu ada yang gelak-ketawa. Maka berkata Izrail : Alangkah hairannya aku melihat orang ini, sedangkan aku diutus oleh Allah S.W.T untuk mencabut nyawanya, tetapi dia masih berseronok-seronok dan bergelak ketawa."

Seandainya kita tahu akan hal ini, nescaya kita tidak lagi lalai dalam mengingati mati.

Rasulullah S.A.W pernah ditanya:

"Siapakah orang orang beriman yang lebih bijak? Jawab baginda: Mereka yang lebih banyak mengingati mati dan lebih baik penyediaannya kepada perkara selepas mati, mereka itulah yang lebih bijak"(Hadis riwayat ibn Majah drpd Ibn Umar r.a)

Sepertimana kita risau akan orang asing yang menjenguk rumah kita, kemungkinan menelefon pihak polis atau bersiap dengan senjata, begitulah seharusnya persediaan kita menghadapi mati.

Ini kerana, mati itu pasti datang. Atas kepastian ini yang hidup itu pasti akan mati, kenapa kita tidak bersiap-sedia. Oleh itu, mereka yang menyediakan persiapan yang lengkap adalah mereka yang paling bijak.

Pandangan sisi, jika kita melihat ada orang akan membaling batu kepada kita. Kita tunggu dan biarkan batu ketuk kepala. Kawan kita akan bertanya "Kenapa kau tak elak?". Kita menjawab, "Saja". Dia tentu berkata "Bodohlah kau ni, elakla dah tahu dia nak lempar batu tu kat kau!"

Sedangkan manusia biasa faham hakikat apabila tahu tetapi tidak sedia itu bodoh, maka bila tahu dan sedia itu bijak!

Oleh kerana itu, sebenarnya manusia itu sedar akan kita akan menempuh kematian. Lihatlah sekeliling, begitu mudah mereka mati sama ada kerana penyakit, kemalangan, tiba-tiba mati dan bencana.

Manusia tidak akan sedar bahawa dirinya sentiasa diperhatikan oleh Malaikat maut, kecuali orang-orang soleh yang sentiasa mengingati mati. Meskipun mata manusia hanya mampu melihat benda yang nyata, tidak mungkin dapat melihat kehadiran malaikat maut itu.

Namun pandangan mata hati mampu melihat alam ghaib, iaitu memandang dengan keyakinan iman dan ilmu. Golongan ini tidak lalai dan sentiasa sedar terhadap kehadiran malaikat maut, kerana mereka sentiasa meneliti hadis-hadis Nabi S.A.W yang menjelaskan mengenai perkara-perkara ghaib, terutama mengenai hal ehwal mati dan hubungannya dengan Malaikat maut.

Sesungguhnya Malaikat maut menjalankan arahan Allah S.W.T dengan tepat dan sempurna, dia tidak diutus hanya untuk mencabut roh orang sakit sahaja, ataupun roh orang yang mendapat kecelakaan dan malapetaka. Jika Allah S.W.T menetapkan kematian seseorang ketika berlaku kemalangan, atau ketika diserang sakit tenat, maka Izrail mencabut roh orang itu ketika kejadian tersebut.

Ajal itu adalah ketetapan Allah, yang telah termaktub sejak azali lagi. Semuanya telah nyata di dalam takdir Allah, bahawa kematian pasti tiba pada saat yang ditetapkan. Izrail hanyalah tentera-tentera Allah yang menjalankan tugas seperti yang diamanahkan kepadanya.

Walau bagaimana pun adalah menjadi hak Allah S.W.T untuk menentukan kematian seseorang itu sama ada bersebab ataupun tidak. Bayangkanlah ketikanya malaikat maut hendak mencabut roh seseorang, tetapi manusia yang dikunjungi Malaikat maut sedang dalam keadaan seronok bergelak-ketawa, hingga malaikat maut berasa hairan terhadap manusia itu. Ini membuktikan bahawa kematian itu tidak pernah mengenal sama ada seseorang yang sedang sakit atau pun ketika sihat dan segar-bugar.

Firman Allah S.W.T yang bermaksud :

" Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) mempercepatkannya. " ( Surah al-A'raf ayat 34 ).

Bagaimana?

Sudah bersedia?

Sedar atau tidak?

Kematian itu pasti menjemput kita.

-Artikel iluvislam.com